Jumat, 04 Desember 2009

akhlak tasawuf tentang kekuasaan

KEKUASAAN

Perspektif Tasawuf sebagai Etika Pembebasan


“Tegak dan kukuhnya bangsa hanyalah mungkin dengan budi pekerti dan moralitas.Jika mereka tak lagi berbudi pekerti,tunggu saja kehancurannya”
-Ahmad Syauqi Beik


Jauh sebelum Adam diciptakan,Allah telah mengabarkan kepada para malaikatnya,bahwa nanti akan diciptakan seorang khlifah di muka bumi.khalifah tersebut adalah adam sebagai prototipe manusia..Dengan sedikit protes,para malaikat mempertanyakan hal ini kepada allah:”Apakah Engkau ya Tuhan,akan menjadikan manusia yang berkarakter perusak(ifsad)di bumi dan cenderung pada tindakan pertumpahan darah(safkud-dma’)sebagai khalifah?” Bagi para malaikat,karakter mereka sendiri yang selalu bertashbih dan menyucikan Allah Swt.dipandang lebih berhak untuk menjadi khalifah-Nya.

Kutipan dialog antara Tuhan dan malaikat ini sebagaimana di ungkap dalam al-qur’an,sungguhpun singkat,namun memiliki makana yang dalam dan luas.dan juga tersirat sebuah pesan bahwa khalifah itu tidaklah cukup hanya dengan wirid dan tashbih. Sebagaimana yang dilakukan oleh para malaikat,kareana keperbedaan kehidupan dilangit dan dibumi.di langit kehidupannya bersifa seragam sedangkan dibumi kehidupannya bersifay majemuk. Kemajemukan inimustahil dikelola dengan baik oleh pemimpin yang berorientasi dilangit,oleh karena itu allah menegaskan dalam al-qur’an surah AL-Quraisy 1-4

          
         
Artinya:Karena kebiasaan orang-orang quraisy,(yaitu)kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas.Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini(Ka’bah).yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilngkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.

Bisa dipahami dari ayat-ayat tersebut bahwa untuk membangun suatu keimanan belumlah cukup hanya sekadar’falya’budu rabba hadzalbait”(Sembahlah Tuhan yang memiliki rumah ini,yakni baitullah) sebagai simbol formalitas ritual belaka,tetapi juga di sertai upaya”ath’amahum min ju’(memberi makan orang yang lapar)

Yang berupa stabilitas ekonomi dan juga”amanahum min khawf”(memberi rasa aman dari ketakutan),yang berupa stabilitas keamanan.Kedua komponen terakhir ini,tabilitas ekonomi dan jaminan rasa aman,merupakan bagian dari bangunan teologi yang bersifat humanis.

Dalam ayat lain juga disebutkan,manusia sebagai khalifah di bumi juga memiliki konflik baik secara vertikal maupun horizontal seperti yang tersirat dalam surat Al-baqarah ayat 36



                     


Persoalan tersebut hampir senada dengan kekhawatiran para malaikat terhadap manusia yang memiliki karakter ifsad dan safkdima’.karakter perusak dan cenderung menumpahkan darah.semua itu karena malaikat yang belum mengetahui rahasia penciptaan manusia sebagai khalifah di bumi.
Oleh karena itu moralitas mana yang sejala dengan petunjuk AL-qur’a yang harus diperbuat oleh manuisa,dan bagaimana islam memandang persoalan kekuasaan itu?
Secara umum,perbincangan politik dan kekuasaan dalam Al-qur’an bertolak belakang dari prinsip-prinsip moral dasar tentang pemerintahan.Pertama,prinsip al-musawah atau kesetaraan. Artinya,islam tak mengenal diskriminasi dalam bentuk apapun. Prinsip berikutnya adalah al-‘adalah,keadilan. Artinya Etika politik Al-qur’an juga mengharuskan seorang penguasa untuk berlaku adil terhadap semua komponen dalam masyarakat dengan menjunjung tinggi supremasi hukum di atas segalanya.
Dengan demikian,apabila ditilik lebih dalam pandangan kesufian,kkuasaan merupakan bagian dari implementasi posisi manusia sebagai khalifah.Kekuasaan menjadi penting bagi kehidupan manusia sepanjang mereka mampu menempatkan kekuasaan tersebut sebagai pintu masuk untuk memperkuat jati dirinya sebagai makhluk,abdillah.Artinya,Kekuasaan lahiriah adalah ekspresi manusia sebagai makhluk dan hamba ALLAH yang harus mempertanggung jawabkan semua perbuatannya kepada ALLAH

Tasawuf memandang bahwa kekuasaan itu mengandung dua unsur penting,khalq dan khulq.khalq merupakan kekuasaan yang tampak secara material,seperti jabatan presiden,menteri,gubernur,bupatiu,dan wali kota.Sementara khulq berupa kekuasaan yang bersifat spiritual atau ruhani.Maka,kekuasaan yang ideal menurut pandangan tasawuf adalah yang dapat memberikan hasil positif bagi kehidupan manusia baik secara lahiriah maupun batiniah.Salah satu wujud konkret kesempurnaan moralitas penguasa itu adalah yang memiliki bashirah,dlamir,fu’ad,sirr,dan latha’if.
Kekuasaan menjadi efektif dan berfungsi dengan baik pabila orang yang berkuasa mempunyai bashirah,yaitu mata hati(eye of the heart),Sebagaimana di tegaskan oleh aLLah Swt:QS Al-qiyamah ayat 14
     
Artinya:
Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri.
Dan juga pada surat QS Asy-Syams ayat 8
   
Artinya:
Maka allah mengilhamkan kepada jiwa itu(jalan)kefasikan dan ketakwaannya.
Kekuasaan juga membutuhkan pribadi penguasa yang mempunyai”dlamir”berfungsi untuk mengarahkan kekuasaan agar selalu berada pada jalur yang benar dan di fungsikan pada kebaikan bersama.Di samping itu,kekuasaan juga harus dipegang oleh seseorang yang mempunyai”fu’ad”,yaitu suatu integritas batiniah yang mampu bertindak sebagai hakim atau penentu bagi segenap perilaku manusia.Kekuasaan yang selalu berkutat pada persoalan kebijakan akan menimbulkan persoalan..,apakah kekuasaan yang telah berjalan itu sesuatu yang baik atau buruk.Maka,seseorang penguasa yang mempunyai”fu’ad” akan di mudahkan dalam memperoleh kejelasan soal baik dan buruknya suatu tindakan.Seperti dinyatakan dalam AL-qur’an: Surt An-Najm ayat 11
     
Artinya:
Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya
Seorang penguasa juga membutukan”sirr” yang secara harfiah bermakna “rahasia”.Tidak semua orang mempunai sirr yang berfungsi mengawasi tindakan dan segenap aktifitasnya yang sudah atau sedang berjalan.Kekuasaan yang dikandalikan oleh pribadinya yang mempunyai sirr akan selalu mempertanggung jawabkan tindakannya kepada tuhan dan manusia,serta berhati-hati pula dalam menjalankan kekuasaannya.
Penguasa juga membutuhkan”latha’if”,yaitu kelembutan batin.yakni,sesuatu pengalaman personal dan batin dalam mengenal Allah.Kekuasaan harus dipandang dari dua sisi,lahiriah dan bathiniah.Karena sifatnya immateri,tingkatan batin manusia itu berjenjang dalam tahapan-tahapan atau yang disebut maqam.Setiap tingkatan yang ada merupakan salah satu pengalaman yang muncul karena terjadinya pertemuan spiritual dengan AllahDikalangan para sufi,cara-cara pembagian wujud dan istilah teknis bathin(latha’if) berbeda-beda sesuai dengan hasil intensitas pendakian pengalaman spiritualnya.
Menurut Abu Mahfudz ma’ruf Al-Karkhi,seorang sufi besar pada masa klasik.Menurutnya,Kehidupan yang hakiki adalah kepedulian terhadap yang hakikat dan berpaling dari kepalsuan.maka,segala rupa kekuasan lahiriah membutuhkan kejujuran,profesionalitas,dan berorientasi kemashalatan secara luas dan berdimensi luas.Dlam konteks ini,kita dapat memperhatikan pribadi-pribadi sempurna,seperti Khalifah Umar ibn abdul aziz dari Dinasti umayyah.dia layak disebut sufi karena dia adalah seorang pemimpin negara berkualitas yang berhasil menjadikan kekuasaannya sangat bermakna bagi kehidupan. Sebagaimana dinyatakan dalam Al-qur’an QA Al-hajj ayat 54
                      
Artinya:
Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu,meyakini bahwasanya Al-qur’an itulah yang hak dari tuhanmu,lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya,dan sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.Kekuasaan menjadi sangat berharga apabila memberikan implikasi yang baik dan positif bagi masyarakat secara luas,baik dari sisi lahiriah maupun batiniah.sebaliknya,kekuasaan menjadi sesuatu yang nista dan tak bernilai apabila hanya menimbulkan kerusakan alam semesta dan konflik antar umat manusia.
POLITIK KEMASHALATAN DAN MORALITAS
Pada diri manusia,selain diberi hati nurani yang senantiasa menegakkan karakteristik ketuhanan(al-khuluk),juga terdapat hawa nafsu yang cenderung tergiur pada materi yang nisbi dan instan.Jika kemenangan di pihak nafsu,manusia akan turun derajatnya.moralnya pun menjadi bejat melebihi binatang sedangkan jika hati nurani mampu mengungguli nafsu,orang tersebut akan naik derajatnya,moralnya terpuji,melebihi para makhluk tuhan lainnya sebagai ahsan taqwin.
Model manusia terakhir inilah yang layak menadi wakil tuhan di muka bumi(khalifatullah fil-ard).Moralitas merupakan sesuatu yang dilakukan,bukan di ucapkan.sebuah tindakan,bukan tulisan.Pengalaman,bukan,hafalan.bukti nyata dan keteladanan,bukan penataran.kata hati bukan diskusi.Afektif,dan bukan kognitif.aplikatif bukan normatif.Amaliah,bukan ilmiah.Demikian seterusnya.Eksistensinya tidak bisa dibuat-buat,dipalsukan,iseng,coba-coba,pura-pura ataupun sekedar simbolis,formalitas,dan hiasan.Sebagus-bagusnya teori,banyaknya ajaran,menumpuknya kitab,lancarnya hafalan,fasihnya bacaan,yingginya kedudukan dan jabatan,indahnya paras dan wajah,melimpahnya harta,semuanya bukanlah jaminan akan baiknya moral seseorang.
Moralitas yang luhur merupakan karakteristik ketuhanan yang melekat pada diri manusia,tanpa pandang bulu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar